Sejak didirikan pada 19 April 1930, Persatuan Sepakbola
Seluruh Indonesia (PSSI) memang tidak banyak memberikan prestasi dalam
ajang sepakbola internasional. "Prestasi" yang dianggap paling berkesan
tentu saja partisipasi Indonesia di Piala Dunia pada 1938, meskipun saat
itu masih bernama Hindia Belanda dan tim yang dikirim tidak di bawah
bendera PSSI.
Penulis mencoba menganalisis 10 hal yang menyebabkan sepakbola
Indonesia berjalan-jalan di tempat dan tidak ke mana-mana. Berikut 10
hal tersebut :
1. Masalah internal organisasi yang tak kunjung usai.
Sejak berdiri pada 1930 hingga tahun 2015 ini, PSSI sudah memliki lima belas ketua umum (belum termasuk La Nyalla yang baru terpilih), namun seiring berjalannya waktu, PSSI yang dahulu digunakan sebagai salah satu alat untuk melawan penjajah, sekarang justru digunakan untuk berbagai kepentingan, bukan hanya sepakbola.
Tidak jarang juga sepakbola Indonesia digunakan sebagai jualan politik untuk meraih tujuan salah satu golongan. Tercatat ada konflik yang dapat dibilang akut pada 2011. Saat itu terjadi dualisme di tubuh PSSI yang berimbas pada pecahnya kompetisi menjadi IPL dan ISL, sebelum akhirnya "bersatu" kembali pada 2013 melalui kongres luar biasa. Permasalahan internal ini tidak akan usai jika nepotisme di dalam tubuh PSSI tidak pernah usai. Bahkan kini pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi membekukan PSSI dan Indonesia di ambang sanksi FIFA.
2. Pelatnas jangka panjang bukan solusi.
Sejak era 60-an timnas selalu menerapkan pelatnas jangka panjang dalam menghadapi sebuah turnamen. Namun, kini aneh rasanya jika negara sebesar Indonesia masih harus melakukan pelatnas jangka panjang. Pelatnas jangka panjang dilakukan dengan cara melakukan pelatihan intensif dalam beberapa bulan di suatu tempat dan melakukan uji tanding dengan lawan yang sudah dipilih. Dalam rangka persiapan Kualifikasi Olimpiade 1996, PSSI sempat membentuk tim untuk dikirim ke Italia melalui program Primavera yang mengikuti kompetisi usia U-19. Hasilnya? Indonesia terhenti di fase grup kualifikasi. Sama halnya dengan Primavera, SAD di Uruguay pun tidak menghasilkan prestasi nyata secara keseluruhan, timnas Indonesia U-19 tetap gagal lolos Piala Asia U-19 pada 2010.
Pelatnas jangka panjang bukanlah solusi. Adanya pelatnas jangka panjang dapat diartikan kurang optimalnya kompetisi liga. Seharusnya dengan adanya liga, seorang pelatih timnas cukup memantau langsung pemain yang dibutuhkannya, tanpa harus mengumpulkan mereka beberapa bulan. Sepanjang pelatnas jangka panjang, tidak ada prestasi berarti yang pernah diraih timnas, selain medali emas pada SEA Games 1987 dan 1991. SEA Games adalah event multicabang. Di ajang AFC atau FIFA, timnas tidak pernah sukses dengan pola pelatnas jangka panjang ini. Contoh paling nyata yang dapat dilihat adalah apakah timnas Spanyol dan Jerman harus melakukan pelatnas selama berbulan-bulan untuk menjadi juara dunia? Tidak, bukan? mereka cukup dua-tiga minggu berkumpul, karena pelatih telah memantau pemain di liga domestik maupun liga asing.
3. Pengelolaan kompetisi yang amatir.
Setelah era Galatama (kompetisi semiprofesional) dan Perserikatan (kompetisi amatir) melebur menjadi Liga Indonesia pada 1994 merupakan suatu langkah, di mana era sepakbola industri berlandaskan profesionalisme akan dimulai, sekaligus diharapkan meningkatkan mutu kompetisi sepakbola nasional. Kenyataan yang ada saat ini justru seperti jalan di tempat. Klub di Indonesia setiap musim kompetisi akan dimulai selalu diawali dengan masalah klasik, belum membayar gaji pemain dan kekurangan dana. Hal ini jelas mengindikasikan ada yang salah dari pengelolaan klub. Operator liga seperti memaksakan kehendak. Bagaikan orang yang sedang jatuh sakit, bahkan sekarat, dipaksa untuk tetap bekerja. Hasilnya tidak hanya klub yang berhenti di tengah kompetisi, tetapi banyak pemain mengeluhkan gaji yang belum dibayar. Sayangnya, hanya sedikit yang berani bersuara tentang masalah hak yang belum terpenuhi. Jika kita melihat ada kompetisi antarkampung (tarkam), bisa jadi kompetisi amatiran tersebut dikelola lebih profesional dibanding kompetisi yang mengaku profesional.
4. Pembinaan usia dini tidak berjenjang.
Di Indonesia memang banyak sekolah sepakbola (SSB), tetapi semuanya tidak memiliki standar dan beberapa di antaranya terkesan hanya untuk mencari duit. Kompetisi usia dini, seperti Piala Soeratin U-15 pun dalam beberapa tahun terakhir sempat vakum karena persoalan internal dan tidak berkesinambungan dengan level berikutnya hingga senior, Jika kita melihat kesuksesan timnas U-19 asuhan Indra Sjafrie yang berhasil menjuarai AFF 2013 dan lolos ke Piala Asia U-19, saya rasa itu murni karena taktik dan hasil pantauan Indra Sjafrie secara langsung dalam memilih pemain, bukan dari hasil pembinaan berjenjang.
5. Pemanfaatan infrastruktur yang tidak efektif.
Indonesia punya Stadion Palaran di Samarinda, punya Stadion Riau, ada pula Stadion Patriot Bekasi. Namun yang membuat heran, ketika ada pentas internasional, selalu mengandalkan Gelora Bung Karno. Fasilitas di atas tadi hanya salah satu dari sekian banyak yang sudah ada, bahkan baru dalam tahap perencanaan pembangunan, seperti training camp untuk timnas di Sawangan Depok hasil dari FIFA Goal Project. Kebanyakan dan bahkan nyaris semua stadion di Indonesia dimiliki pemerintah daerah. Klub di Indonesia tidak memiliki stadion sendiri, sehingga harus menyewa. Gelora Bung Karno pun dikelola oleh Sekretariat Negara. PSSI dapat dikatakan tidak memiliki fasilitas yang mumpuni milik sendiri.
6. Kurangnya pemahaman "rule of the game".
Masih ingat insiden ketika Kurnia Meiga pada AFF 2014 lalu? Saya pikir ini salah satu potret betapa pemain yang berada di level tim nasional pun belum sepenuhnya memahami peraturan pertandingan. Di kompetisi domestik, jika memprotes wasit seolah dapat berbuat apa pun dan sanksi yang ada, terhitung ringan. Namun, ketika berada di level internasional, pemain Indonesia seperti kaget, apabila pelanggaran yang dianggap biasa dilakukan di liga domestik, diganjar hukuman berat pada level internasional.
7. Suporter dengan fanatisme buta.
“Bla..bla..sampai mati”. Apakah dengan mendukung sebuah klub dapat membuat seseorang menjadi sejahtera? Saya pikir dalam beberapa kasus, suporter Indonesia terlihat seperti fanatik buta terhadap tim kesayangan, Artinya ketika tim yang dibela tersebut sedang salah langkah, haruslah diluruskan. Salah langkah tersebut bisa jadi karena manajemen yang tidak kompeten. Sebuah klub tidak melulu harus dibela, apa pun langkah klub tersebut. Bersikap kritis dan selalu mengawal adalah tindakan preventif untuk menghindari hal buruk terjadi, seperti kebangkrutan dan sebagainya. Ingat, suporter dan pencinta sepakbola ibarat konsumen dalam indsutri sepakbola. Jika suporter tersebut selalu ada dan menerima apa yang diberikan oleh tim kesayangan, bahkan hal buruk sekalipun, di situlah pedagang (manajemen klub, Red) akan selalu berkuasa. Jadi bersikap kritis menjadi hal yang penting.
8. Hantu bernama suap.
Tidak hanya terjadi di Indonesia, di mana pun suap adalah hantu yang akan selalu bergentayangan. Faktor ekonomi biasanya menjadi motif utama munculnya suap. Sepakbola gajah yang pernah terjadi beberapa tahun lalu, seolah hilang begitu saja kasusnya. Tidak hilangnya suap karena tidak adanya tindakan pencegahan. PSSI seharusnya memberikan pengetahuan tentang bahaya suap, bukan sekadar memberi hukuman dan selesai begitu saja, karena selalu ada dalang di balik sebuah kasus. Intinya tidak ada asap, jika tidak ada api.
9. Menginginkan segalanya secara instan.
Sepakbola adalah sebuah proses, tidak dapat segalanya dapat dibuat sekejap lalu menjadi lolos Piala Dunia. Visi-misi diperlukan dalam tahap mencapai suatu tujuan. Di Indonesia sebuah klub jarang yang memiliki ikatan jangka panjang dengan seorang pemain atau pelatih. Dana yang tidak mencukupi menjadi alasan klasik. Klub hanya berpikir untuk satu musim ke depan, bukan untuk lima hingga 10 tahun, menginginkan hasil yang instan. Bergonta-ganti pelatih pun bukan suatu hal yang aneh di negeri ini.
10. Sepakbola hanya untuk euforia semata.
Sepakbola kita terkadang hanya sekadar ingin lolos ISL (kasta liga tertinggi) dan juara. Sehabis itu, pesta dan usai sudah. Sepakbola kita terlalu sering bercerita tentang Piala Dunia 1938 atau kualifikasi Olimpiade Melbourne 1956. Kalau hanya itu yang menjadi keinginan, maka tidaklah kaget jika sepakbola kita sekadar hiburan semata, tanpa tujuan untuk mengangkat kehormatan bangsa.
Sumber : BeritaSatu.com
1. Masalah internal organisasi yang tak kunjung usai.
Sejak berdiri pada 1930 hingga tahun 2015 ini, PSSI sudah memliki lima belas ketua umum (belum termasuk La Nyalla yang baru terpilih), namun seiring berjalannya waktu, PSSI yang dahulu digunakan sebagai salah satu alat untuk melawan penjajah, sekarang justru digunakan untuk berbagai kepentingan, bukan hanya sepakbola.
Tidak jarang juga sepakbola Indonesia digunakan sebagai jualan politik untuk meraih tujuan salah satu golongan. Tercatat ada konflik yang dapat dibilang akut pada 2011. Saat itu terjadi dualisme di tubuh PSSI yang berimbas pada pecahnya kompetisi menjadi IPL dan ISL, sebelum akhirnya "bersatu" kembali pada 2013 melalui kongres luar biasa. Permasalahan internal ini tidak akan usai jika nepotisme di dalam tubuh PSSI tidak pernah usai. Bahkan kini pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi membekukan PSSI dan Indonesia di ambang sanksi FIFA.
2. Pelatnas jangka panjang bukan solusi.
Sejak era 60-an timnas selalu menerapkan pelatnas jangka panjang dalam menghadapi sebuah turnamen. Namun, kini aneh rasanya jika negara sebesar Indonesia masih harus melakukan pelatnas jangka panjang. Pelatnas jangka panjang dilakukan dengan cara melakukan pelatihan intensif dalam beberapa bulan di suatu tempat dan melakukan uji tanding dengan lawan yang sudah dipilih. Dalam rangka persiapan Kualifikasi Olimpiade 1996, PSSI sempat membentuk tim untuk dikirim ke Italia melalui program Primavera yang mengikuti kompetisi usia U-19. Hasilnya? Indonesia terhenti di fase grup kualifikasi. Sama halnya dengan Primavera, SAD di Uruguay pun tidak menghasilkan prestasi nyata secara keseluruhan, timnas Indonesia U-19 tetap gagal lolos Piala Asia U-19 pada 2010.
Pelatnas jangka panjang bukanlah solusi. Adanya pelatnas jangka panjang dapat diartikan kurang optimalnya kompetisi liga. Seharusnya dengan adanya liga, seorang pelatih timnas cukup memantau langsung pemain yang dibutuhkannya, tanpa harus mengumpulkan mereka beberapa bulan. Sepanjang pelatnas jangka panjang, tidak ada prestasi berarti yang pernah diraih timnas, selain medali emas pada SEA Games 1987 dan 1991. SEA Games adalah event multicabang. Di ajang AFC atau FIFA, timnas tidak pernah sukses dengan pola pelatnas jangka panjang ini. Contoh paling nyata yang dapat dilihat adalah apakah timnas Spanyol dan Jerman harus melakukan pelatnas selama berbulan-bulan untuk menjadi juara dunia? Tidak, bukan? mereka cukup dua-tiga minggu berkumpul, karena pelatih telah memantau pemain di liga domestik maupun liga asing.
3. Pengelolaan kompetisi yang amatir.
Setelah era Galatama (kompetisi semiprofesional) dan Perserikatan (kompetisi amatir) melebur menjadi Liga Indonesia pada 1994 merupakan suatu langkah, di mana era sepakbola industri berlandaskan profesionalisme akan dimulai, sekaligus diharapkan meningkatkan mutu kompetisi sepakbola nasional. Kenyataan yang ada saat ini justru seperti jalan di tempat. Klub di Indonesia setiap musim kompetisi akan dimulai selalu diawali dengan masalah klasik, belum membayar gaji pemain dan kekurangan dana. Hal ini jelas mengindikasikan ada yang salah dari pengelolaan klub. Operator liga seperti memaksakan kehendak. Bagaikan orang yang sedang jatuh sakit, bahkan sekarat, dipaksa untuk tetap bekerja. Hasilnya tidak hanya klub yang berhenti di tengah kompetisi, tetapi banyak pemain mengeluhkan gaji yang belum dibayar. Sayangnya, hanya sedikit yang berani bersuara tentang masalah hak yang belum terpenuhi. Jika kita melihat ada kompetisi antarkampung (tarkam), bisa jadi kompetisi amatiran tersebut dikelola lebih profesional dibanding kompetisi yang mengaku profesional.
4. Pembinaan usia dini tidak berjenjang.
Di Indonesia memang banyak sekolah sepakbola (SSB), tetapi semuanya tidak memiliki standar dan beberapa di antaranya terkesan hanya untuk mencari duit. Kompetisi usia dini, seperti Piala Soeratin U-15 pun dalam beberapa tahun terakhir sempat vakum karena persoalan internal dan tidak berkesinambungan dengan level berikutnya hingga senior, Jika kita melihat kesuksesan timnas U-19 asuhan Indra Sjafrie yang berhasil menjuarai AFF 2013 dan lolos ke Piala Asia U-19, saya rasa itu murni karena taktik dan hasil pantauan Indra Sjafrie secara langsung dalam memilih pemain, bukan dari hasil pembinaan berjenjang.
5. Pemanfaatan infrastruktur yang tidak efektif.
Indonesia punya Stadion Palaran di Samarinda, punya Stadion Riau, ada pula Stadion Patriot Bekasi. Namun yang membuat heran, ketika ada pentas internasional, selalu mengandalkan Gelora Bung Karno. Fasilitas di atas tadi hanya salah satu dari sekian banyak yang sudah ada, bahkan baru dalam tahap perencanaan pembangunan, seperti training camp untuk timnas di Sawangan Depok hasil dari FIFA Goal Project. Kebanyakan dan bahkan nyaris semua stadion di Indonesia dimiliki pemerintah daerah. Klub di Indonesia tidak memiliki stadion sendiri, sehingga harus menyewa. Gelora Bung Karno pun dikelola oleh Sekretariat Negara. PSSI dapat dikatakan tidak memiliki fasilitas yang mumpuni milik sendiri.
6. Kurangnya pemahaman "rule of the game".
Masih ingat insiden ketika Kurnia Meiga pada AFF 2014 lalu? Saya pikir ini salah satu potret betapa pemain yang berada di level tim nasional pun belum sepenuhnya memahami peraturan pertandingan. Di kompetisi domestik, jika memprotes wasit seolah dapat berbuat apa pun dan sanksi yang ada, terhitung ringan. Namun, ketika berada di level internasional, pemain Indonesia seperti kaget, apabila pelanggaran yang dianggap biasa dilakukan di liga domestik, diganjar hukuman berat pada level internasional.
7. Suporter dengan fanatisme buta.
“Bla..bla..sampai mati”. Apakah dengan mendukung sebuah klub dapat membuat seseorang menjadi sejahtera? Saya pikir dalam beberapa kasus, suporter Indonesia terlihat seperti fanatik buta terhadap tim kesayangan, Artinya ketika tim yang dibela tersebut sedang salah langkah, haruslah diluruskan. Salah langkah tersebut bisa jadi karena manajemen yang tidak kompeten. Sebuah klub tidak melulu harus dibela, apa pun langkah klub tersebut. Bersikap kritis dan selalu mengawal adalah tindakan preventif untuk menghindari hal buruk terjadi, seperti kebangkrutan dan sebagainya. Ingat, suporter dan pencinta sepakbola ibarat konsumen dalam indsutri sepakbola. Jika suporter tersebut selalu ada dan menerima apa yang diberikan oleh tim kesayangan, bahkan hal buruk sekalipun, di situlah pedagang (manajemen klub, Red) akan selalu berkuasa. Jadi bersikap kritis menjadi hal yang penting.
8. Hantu bernama suap.
Tidak hanya terjadi di Indonesia, di mana pun suap adalah hantu yang akan selalu bergentayangan. Faktor ekonomi biasanya menjadi motif utama munculnya suap. Sepakbola gajah yang pernah terjadi beberapa tahun lalu, seolah hilang begitu saja kasusnya. Tidak hilangnya suap karena tidak adanya tindakan pencegahan. PSSI seharusnya memberikan pengetahuan tentang bahaya suap, bukan sekadar memberi hukuman dan selesai begitu saja, karena selalu ada dalang di balik sebuah kasus. Intinya tidak ada asap, jika tidak ada api.
9. Menginginkan segalanya secara instan.
Sepakbola adalah sebuah proses, tidak dapat segalanya dapat dibuat sekejap lalu menjadi lolos Piala Dunia. Visi-misi diperlukan dalam tahap mencapai suatu tujuan. Di Indonesia sebuah klub jarang yang memiliki ikatan jangka panjang dengan seorang pemain atau pelatih. Dana yang tidak mencukupi menjadi alasan klasik. Klub hanya berpikir untuk satu musim ke depan, bukan untuk lima hingga 10 tahun, menginginkan hasil yang instan. Bergonta-ganti pelatih pun bukan suatu hal yang aneh di negeri ini.
10. Sepakbola hanya untuk euforia semata.
Sepakbola kita terkadang hanya sekadar ingin lolos ISL (kasta liga tertinggi) dan juara. Sehabis itu, pesta dan usai sudah. Sepakbola kita terlalu sering bercerita tentang Piala Dunia 1938 atau kualifikasi Olimpiade Melbourne 1956. Kalau hanya itu yang menjadi keinginan, maka tidaklah kaget jika sepakbola kita sekadar hiburan semata, tanpa tujuan untuk mengangkat kehormatan bangsa.
Sumber : BeritaSatu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar