Minggu, 31 Mei 2015

5 Dampak Pembongkaran Korupsi FIFA bagi Sepakbola Dunia

Ini 5 dampak pembongkaran korupsi FIFA buat sepakbola dunia
Drama Kongres Federasi Sepakbola Internasional (FIFA) untuk sementara ini berakhir. Sepp Blatter kembali berkuasa, selepas ngotot tak mau mundur walau sembilan koleganya di komite eksekutif ditangkap Kejaksaan Swiss atas kasus korupsi. Tapi tak bisa dipungkiri, industri sepakbola dunia yang bernilai miliaran Dollar Amerika kini limbung.
Kendati begitu, Blatter yang menjabat presiden FIFA empat periode ini berkukuh maju kembali. Lawannya adalah Pangeran Ali bin al-Hussein dari Yordania, yang sebelumnya menjadi Wakil Ketua Asosiasi Sepakbola Asia (AFC).

Dilaporkan the Guardian, Sabtu (30/5), secara mengejutkan Ali mendapat dukungan mutlak Asosiasi Sepakbola Eropa (UEFA). Blatter yang tetap didukung delegasi Afrika dan Asia walau didera skandal korupsi, ternyata gagal menyapu bersih suara.
Hasil hitung cepat setelah pemungutan suara manual selama tiga jam menunjukkan Blatter meraup 133 suara. Sementara Pangeran Ali memperoleh 73. Tiga suara dianggap rusak, sehingga total ada 206 suara diperebutkan.
Sesuai aturan, harus digelar putaran kedua karena tidak ada kandidat memperoleh 2/3 suara. Ketika panitia bersiap menggelar pemungutan suara ulang, Pangeran Ali tiba-tiba mundur. "Saya menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya, khususnya pada anda semua yang cukup berani memilih saya menjadi presiden FIFA," kata Ali singkat sebelum pergi dari arena kongres.
Tak jadi ada revolusi di tubuh FIFA, yang pekan ini dipermalukan karena boroknya dikuak Kejaksaan Swiss dan FBI dalam dua kasus korupsi berbeda. Sembilan pejabat FIFA itu ditangkap ketika sedang bersantai di hotel mewah Kota Zurich.
Penyelidikan yang digarap AS sejak 2012 adalah suap kepada bos FIFA dalam pemberian kontrak iklan eksklusif, hak siar, dan lain sebagainya senilai USD 150 juta. Sementara kasus yang digarap jaksa dari Swiss menyangkut penentuan tuan rumah piala dunia.
Untuk pelbagai pelanggaran tersebut, para petinggi FIFA itu bisa dipenjara 20 tahun.
Blatter tak sekadar kembali memimpin FIFA. Kasus korupsi yang menyebabkan 14 orang jadi tersangka itu tetap punya dampak besar pada sepakbola, olahraga paling populer di muka bumi.
Apa saja dampak kasus itu pada masa depan FIFA termasuk Rezim Blatter? Berikut rangkumannya...

1.
Piala Dunia 2018 di Rusia bisa diboikot

Asosiasi Sepakbola Eropa (UEFA) dan Amerika Serikat menyatakan siap memboikot Piala Dunia 2018 yang digelar di Rusia, seandainya dugaan korupsi FIFA terbukti di pengadilan.
Salah satu kasus yang disidik Kejaksaan Swiss adalah suap dalam penentuan tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022. Artinya, Rusia dan Qatara diduga main uang supaya menjadi penyelenggara pesta olahraga terbesar sejagat itu.
Presiden UEFA Michel Platini menyatakan bila kongres hari ini tetap memenangkan Blatter, maka ada kemungkinan UEFA memboikot Piala Dunia 2018.
"Kami ada kesempatan berkumpul kembali akhir bulan untuk merumuskan sikap," kata Platini.
Ancaman boikot senada dilontarkan Ketua Asosiasi Sepakbola Inggris (FA) Greg Dyke kemarin. "Jika Blatter terpilih kembali, (boikot Piala Dunia) harus dibicarakan serius," ujarnya.
Qatar pun jadi bulan-bulanan media, setelah laporan menunjukkan ribuan buruh bangunan asing tewas saat ngebut merampungkan stadion demi Piala Dunia 2022.
FIFA tidak mau mempertimbangkan ulang terpilihnya Rusia dan Qatar. "Piala Dunia Rusia dan Qatar akan tetap dimainkan. Itulah fakta hari ini. Tidak kurang dan tidak lebih," kata Jubir FIFA Walter de Gregorio.

2.
Rezim Blatter di FIFA tamat dalam waktu dekat

Blatter tidak disebut dalam berkas kasus FBI maupun Kejaksaan Swiss. Bos besar FIFA itu sejauh ini aman. Tapi namanya terus diincar, karena mustahil tidak mengetahui kelakuan tiga wakil presidennya yang dicokok Rabu (27/5) lalu.
Dalam diagram yang dilansir CNN, kini bahkan tinggal Blatter satu-satunya pemimpin yang tidak terkena kasus hukum di komite eksekutif FIFA.
Ketua Asosiasi Sepakbola Inggris (FA) Greg Dyke meyakini era Blatter yang terentang sejak 1998 akan segera tamat. Kengototan Blatter menolak mundur walau ada tekanan publik merupakan bunuh diri citra.
"Bukti sudah menunjukkan selama dia memimpin, korupsi di tubuh FIFA sangat parah. Publik tidak akan bisa menoleransi Blatter," kata Dyke.
Blatter adalah politikus sepakbola paling berpengaruh. Pria 79 tahun kelahiran Swiss ini punya basis massa setiap dari Asia dan Afrika. Selama kepemimpinannya, dia kerap memberi hibah bantuan pengembangan sepakbola ke negara-negara miskin.
Tapi di sisi lain, publik sejak lama kasak-kusuk menuding Blatter memasang tarif tinggi bagi negara yang ingin jadi tuan rumah ajang sepakbola internasional. Kelakuan anak buahnya, misalnya Jeffrey Webb yang sering disuap lalu memperkaya diri pakai uang FIFA, telah berkali-kali diangkat media lewat laporan investigatif.

3.
Kisruh FIFA meluas jadi Rusia versus AS

Politik dunia kini benar-benar mengendalikan Federasi Sepakbola Internasional (FIFA). Presiden Rusia Vladimir Putin secara resmi menyatakan dukungan agar Sepp Blatter tetap menjabat presiden untuk periode ke-5.
Stasiun Televisi Aljazeera, Jumat (29/5), melaporkan, Putin menuding penangkapan 9 pejabat tinggi di Kota Zurich, Swiss, dua hari lalu sebagai ulah negara-negara Barat. Menurutnya, ada yang ingin Blatter segera diganti.
"Kasus korupsi ini jelas upaya untuk menggagalkan Blatter terpilih kembali. Intervensi hukum itu juga pelanggaran serius terhadap iklim kerja yang telah dibangun organisasi ini," kata Putin.
Lebih jauh lagi, Putin secara tidak langsung menilai ada agenda lain dari penyidikan suap dan pencucian uang dari petinggi FIFA. Yakni menggagalkan penyelenggaraan Piala Dunia 2018 di Rusia.
Sekadar informasi, kasus suap yang membuat 9 petinggi FIFA dicokok aparat memang dikembangkan di AS. Tim FBI mengumpulkan data lebih dari 3 tahun demi bisa menangkap tangan para pengurus sepakbola yang korup itu.
Menurut Jaksa Agung AS Loretta Lynch, para bos FIFA itu merancang kejahatan di wilayah Amerika. Termasuk memakai jasa perbankan AS untuk mengirim uang suap yang mereka terima dari perusahaan rekanan.
" Korupsi di lembaga ini sudah sistemik sejak 1991. Setiap turnamen, setiap tahun, mereka melakukan ritual korup yang sama dengan dalih menggelar hajatan olahraga terbesar di dunia," kata Lynch.

4.
Negara anggota FIFA saling mengelak dari aib

Ketika pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022 diduga penuh suap, banyak suara sumbang bermunculan untuk perhelatan sebelumnya. Afrika Selatan, Jerman, hingga Korea Selatan-Jepang ikut dituduh membayar delegasi FIFA dalam jumlah besar supaya terpilih.
Apalagi penyelidikan Kejaksaan Swiss menyimpulkan tradisi korup ini sudah sering dilakukan selama masa kepemimpinan Blatter.
Salah satu delegasi Afrika mengatakan wakil Jerman membayarnya supaya memberi dukungan buat menggelar Piala Dunia 2006. "Hanya karena ini Jerman tidak ada yang berani menyampaikannya," tuturnya.
Mantan Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki, membantah tuduhan jika negaranya menyuap Federasi Sepakbola Internasional (FIFA) demi menjadi tuan rumah penyelenggara Piala Dunia pada 2010 silam.
"Saya tidak pernah menghiraukan siapapun yang meminta suap terhadap Afsel demi menjadi tuan rumah piala dunia. Tidak ada uang negara yang saya gunakan untuk menyuap," ujarnya.
Data Kejaksaan Swiss menunjukkan ada bukti transfer USD 10 ribu kepada tiap delegasi yang mendukung Afsel. "Tuduhan yang dilayangkan jaksat tidak ada dasar yang kuat," elak Menteri Olah Raga Afsel Fikile Mbalula tanpa menjelaskan lebih lanjut.

5.
Sponsor kakap mundur bila FIFA terbukti korup

Perusahaan multinasional yang selama ini bekerja sama dengan FIFA mengingatkan organisasi itu agar membenahi diri setelah kasus korupsi terbongkar. Jika reputasi FIFA gagal diperbaiki, mereka memilih mundur.
Sejauh ini, ancaman seperti itu telah disampaikan Coca Cola, Adidas dan Visa.
"Kami berharap FIFA segera mengambil langkah yang berarti merespons kasus itu," tulis juru bicara Visa.
Kontrak iklan yang dinikmati FIFA dari para sponsor kakap mencapai USD 190 juta hanya pada 2014 saja. Adidas, produsen peralatan olahraga asal Jerman yang rajin mendukung acara FIFA sejak 40 tahun terakhir berharap ada langkah konkret supaya budaya korup di kalangan petinggi dapat diubah.
"Kami mendesak FIFA menuruti standar tersebut dalam segala hal yang mereka lakukan."

Sumber : Merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar